Jakarta, Beritakasuari.com – Anggota DPR RI Daerah Pemilihan Papua Barat Daya, Roberth R. Kardinal, mengeluarkan kritik tajam terhadap aktivitas pertambangan nikel oleh PT Gag Nikel di Kabupaten Raja Ampat.
Ia mempertanyakan kontribusi sosial dan lingkungan dari operasional tambang tersebut, yang dinilai tidak memberikan manfaat berarti bagi masyarakat lokal dan justru mengancam kawasan konservasi.
Menurut Kardinal, pemberian izin operasi kepada PT Gag bukan berasal dari pemerintah pusat, melainkan dari pemerintah kabupaten. Padahal, wilayah Raja Ampat dikenal memiliki tujuh kawasan konservasi laut yang seharusnya steril dari kegiatan pertambangan. “Perusahaan boleh punya Amdal, tapi tidak cukup. Mereka juga harus mengantongi izin operasional kelautan. Kawasan konservasi laut tidak boleh ada aktivitas tambang,” tegasnya.
Sorotan utama juga tertuju pada rendahnya kontribusi tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) yang diterima masyarakat sekitar tambang. Warga Distrik Waigeo Barat, yang berada di Ring 2 wilayah pertambangan, hanya mendapatkan Rp10 juta per tahun dari program CSR angka yang dinilai tidak sepadan dengan potensi kerusakan lingkungan yang ditimbulkan.
Lebih jauh, Kardinal juga mengkritik buruknya pengelolaan dana jaminan reklamasi (Jamrek) oleh pihak perusahaan. Ia menilai tidak ada transparansi dalam penggunaan dana tersebut, dan belum terlihat adanya upaya pemulihan lahan pasca-pertambangan seperti penimbunan atau reklamasi. “Uangnya tidak jelas ke mana. Setelah nambang, tidak ada bekas galian yang ditimbun kembali,” ujarnya.
Kardinal menilai bahwa hal ini merupakan isu nasional yang membutuhkan evaluasi menyeluruh lintas kementerian. Ia mendesak agar Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Kementerian ESDM, serta Kementerian Kelautan dan Perikanan segera duduk bersama untuk meninjau ulang keberadaan tambang di kawasan konservasi Raja Ampat.
PT Gag diketahui memperoleh legalitas operasional melalui Kontrak Karya (KK) G-VII berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 13 Tahun 2023 di era Presiden Joko Widodo. Sebelumnya, dasar hukum pendirian tambang berasal dari Perpres No. 41 Tahun 2004 yang dikeluarkan saat pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri, dengan wilayah konsesi mencapai 13.136 hektare.
Menutup pernyataannya, Kardinal menyampaikan sikap tegas terhadap keberlanjutan aktivitas pertambangan yang tidak berdampak positif bagi masyarakat. “Kalau memang tidak ada manfaat, dan justru merusak alam, ya lebih baik ditutup,” tandasnya.