Manokwari, Beritakasuari.com – Dalam beberapa tahun terakhir, Apple gencar mendiversifikasi basis produksinya keluar dari Tiongkok, sebagai langkah strategis menghadapi tantangan global mulai dari tarif era Trump, pandemi COVID-19, hingga krisis semikonduktor. Produksi iPhone mulai digeser ke India, AirPods ke Vietnam, dan komputer Mac dirakit di Malaysia semuanya demi memperkuat ketahanan rantai pasok.
Namun, strategi ini kini menghadapi ujian serius. Kembalinya Donald Trump ke kursi kepresidenan disertai kebijakan tarif tinggi terhadap negara-negara Asia, termasuk India, Vietnam, dan Thailand, justru menghantam rencana diversifikasi Apple. Dampaknya langsung terasa: saham Apple anjlok lebih dari 9%, menghapus kapitalisasi pasar lebih dari USD 300 miliar—kerugian satu hari terbesar sejak Maret 2020.
“Tidak ada tempat aman lagi,” kata Erik Woodring, analis dari Morgan Stanley. Ia menyebut Apple kini berada dalam posisi sulit karena hampir seluruh basis produksinya berada di wilayah yang terkena tarif tinggi.
Dalam skenario terburuk, Apple mungkin terpaksa menaikkan harga seluruh lini produknya di Amerika Serikat sebesar 17% hingga 18%. Bahkan menurut proyeksi Daniel Ives dari Wedbush, jika seluruh biaya dibebankan ke konsumen, harga iPhone terbaru bisa melambung hingga USD 2.300 atau sekitar Rp 38 juta, naik drastis dari harga normal.
Tarif ini muncul sebagai bagian dari misi Trump untuk “memulangkan” manufaktur ke AS. Ia bahkan menyebut Apple secara eksplisit, berharap perusahaan raksasa itu membangun fasilitas produksi dalam negeri. Namun realitanya, Apple saat ini masih bergantung pada pabrik di Asia, termasuk Tiongkok, India, Korea Selatan, Jepang, Taiwan, dan Vietnam.
Apple sendiri telah menggelontorkan investasi senilai USD 500 miliar di AS, namun mayoritas dana itu digunakan untuk pengadaan komponen dan chip dari pemasok dalam negeri—bukan membangun lini produksi massal. Menurut perhitungan Wedbush, dibutuhkan lebih dari 3 tahun dan investasi USD 30 miliar untuk memindahkan hanya 10% dari rantai pasokan Apple ke AS—dengan risiko gangguan besar dalam prosesnya.
Dengan kebijakan tarif yang kini berlaku—termasuk 54% untuk produk dari Tiongkok—Apple harus memilih antara menaikkan harga dan menghadapi risiko kehilangan daya beli konsumen, atau menyerap biaya dan mengorbankan margin keuntungan serta nilai bagi investor.
Langkah Apple berikutnya akan sangat menentukan, baik untuk kelangsungan bisnis globalnya maupun daya saing produk di tengah iklim ekonomi yang semakin menantang.