25.5 C
Manokwari
Sunday, November 23, 2025

Reformasi MBG dan Urgensi Peran Ahli Gizi di Indonesia

Must read

Jakarta, Beritakasuari.com – Sejak awal masa kepemimpinannya, Presiden Prabowo Subianto dengan lantang menegaskan satu visi besar: memastikan seluruh anak Indonesia memperoleh Makan Bergizi Gratis. Komitmen ini tergambar jelas dalam pidatonya pada Sidang Paripurna MPR RI saat pelantikannya untuk periode 2024–2029, ketika ia mengingatkan masih banyak warga yang belum merasakan hasil kemerdekaan, termasuk anak-anak yang berangkat sekolah tanpa sarapan atau bahkan tanpa pakaian layak.

Gagasan tersebut bukanlah ide mendadak. Dalam buku “Paradoks Indonesia dan Solusinya,” Prabowo telah lama mempertanyakan mengapa bangsa yang kaya sumber daya masih membiarkan kelaparan terjadi. Pertanyaan reflektif itu menjadi dasar pemikiran bahwa negara memiliki kewajiban moral menghadirkan kebijakan yang tidak hanya meringankan beban rakyat, tetapi juga memperbaiki kualitas manusia Indonesia secara jangka panjang. Karena itu, MBG lahir sebagai gagasan teknokratis dan visioner untuk menjawab paradoks kemiskinan sekaligus memperkuat fondasi gizi generasi penerus.

Namun setelah hampir sebelas bulan berjalan, berbagai paradoks baru muncul dalam pelaksanaannya. Sebagaimana diberitakan dalam sebuah artikel antarNews.com mengenai reformasi BGN, insiden keracunan akibat makanan program MBG masih terjadi di sejumlah lokasi sekolah, menandai masih lemahnya standar keamanan pangan. Di sisi lain, mitra dapur MBG di Kalibata dilaporkan merugi hampir satu miliar rupiah akibat dugaan penggelapan dana oleh yayasan penyelenggara. Situasi ini mempertegas persoalan serius terkait pengawasan, potensi benturan kepentingan, dan transparansi anggaran yang seharusnya menjadi prioritas utama demi keberlanjutan program.

Dalam konteks profesi gizi, publik juga disuguhi kegaduhan baru setelah pernyataan Wakil Ketua DPR RI Cucun Ahmad Syamsurijal mengenai wacana penggantian istilah ahli gizi. Respons keras dari masyarakat menunjukkan kekhawatiran bahwa pandangan tersebut berpotensi mengerdilkan peran profesional yang justru sangat dibutuhkan dalam perencanaan dan evaluasi MBG. Tanpa kehadiran ahli gizi, risiko kesalahan komposisi makanan, kontaminasi, hingga kasus keracunan akan menjadi ancaman nyata. Lebih jauh lagi, hanya dengan supervisi keilmuan yang kuat, MBG dapat benar-benar memberi dampak langsung terhadap penurunan stunting dan peningkatan kualitas SDM.

Dalam literatur komunikasi kebijakan publik, seperti dijelaskan Wilcox dan Cameron dalam “Public Relations: Strategies and Tactics,” kualitas komunikasi pejabat publik mencerminkan kematangan sebuah kebijakan. Pernyataan yang tidak tepat bukan sekadar kesalahan retorika, tetapi dapat mengganggu persepsi publik dan menimbulkan ketidaknyamanan. Kondisi ini memunculkan refleksi lebih dalam: apakah bangsa ini membutuhkan pejabat yang sekadar populer, atau pemimpin yang mampu menyampaikan pesan penting dengan akurat dan sensitif? Karena itu, setiap pejabat seharusnya memastikan bahwa pesan yang disampaikan telah matang dan tidak menyinggung mereka yang kehidupannya bergantung pada kebijakan pemerintah.

Melihat skala anggaran yang mencapai ratusan triliun, program MBG harus dijauhkan dari praktik-praktik yang menjadikannya ladang keuntungan pribadi. Negara dituntut untuk memastikan bahwa tata kelola MBG berorientasi pada keahlian, bukan kepentingan politik jangka pendek. Peran Badan Gizi Nasional menjadi sangat strategis untuk menjamin bahwa seluruh regulasi berbasis data ilmiah dan metodologi yang dapat dipertanggungjawabkan.

Tantangan terbesar hari ini bukan sekadar menghadirkan para pakar, tetapi mengembalikan otoritas pengetahuan agar tidak kalah oleh pragmatisme politik. Dalam ekosistem demokrasi, teknokrasi bukan untuk menggantikan proses politik, melainkan menjadi alat korektif agar kebijakan tidak terjebak pada popularitas, melainkan tetap berpegang pada rasionalitas dan keberpihakan pada kesejahteraan publik. Masyarakat kini semakin bergantung pada kebijakan pemerintah, sehingga posisi strategis dalam pemerintahan seharusnya diemban oleh mereka yang memiliki kompetensi, bukan sekadar membutuhkan jabatan sebagai legitimasi sosial. Negara membutuhkan reformasi yang sungguh-sungguh, dan hal itu hanya dapat diwujudkan melalui penghormatan pada keahlian, integritas, serta kesungguhan dalam menjaga kepentingan jangka panjang bangsa.

More articles

Latest article