Manokwari, Beritakasuari.com – Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang diinisiasi oleh Presiden Prabowo Subianto menuai perdebatan di Papua Barat. Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) Cabang Manokwari menilai bahwa program ini belum menjadi kebutuhan mendesak bagi masyarakat Papua Barat, yang lebih membutuhkan peningkatan akses pendidikan dan layanan kesehatan gratis.
Dalam sebuah dialog yang berlangsung di Gedung KNPI Papua Barat, Sowi Gunung, Manokwari, pada Sabtu (22/3/2025), GMNI mendesak pemerintah untuk mengalokasikan anggaran secara lebih strategis. Ketua GMNI Cabang Manokwari, Riko Rickson Iba, menegaskan bahwa tingginya biaya pendidikan serta minimnya fasilitas kesehatan merupakan tantangan utama yang harus segera diatasi.
“Soal makanan, masyarakat Papua memiliki sumber daya lokal yang diwariskan secara turun-temurun dari kebun. Namun, yang menjadi persoalan utama adalah mahalnya biaya pendidikan, yang mengakibatkan banyak anak putus sekolah,” ujarnya.
Riko juga menyoroti masih banyaknya daerah di Papua Barat yang kekurangan tenaga pengajar dan tenaga medis. “Sampai saat ini, masih banyak wilayah yang belum memiliki guru dan tenaga kesehatan yang memadai, bahkan fasilitas pendidikan dan kesehatan masih jauh dari standar yang layak,” katanya.
Dalam diskusi yang digelar bertepatan dengan dies natalis GMNI ke-71 tersebut, sejumlah pihak juga mempertanyakan kesiapan teknis pelaksanaan program MBG. Kepala Dinas Kesehatan Papua Barat, Alwan Rimosan, mengakui bahwa hingga kini belum ada petunjuk teknis dari pemerintah pusat terkait mekanisme penyediaan dapur bergizi dan pemeriksaan kesehatan bagi anak sekolah.
“MBG memang program unggulan nasional, tetapi sampai saat ini belum ada petunjuk teknis terkait operasional dapur maupun mekanisme pemeriksaan kesehatan,” ungkapnya.
Sementara itu, Anggota DPR Papua Barat dari Komisi II yang membidangi pendidikan dan kesehatan, Fachri Tura, menyambut baik diskusi yang diinisiasi GMNI. Ia berjanji akan membawa aspirasi ini ke tingkat legislatif dan memanggil pihak terkait untuk evaluasi lebih lanjut.
“DPR akan mengakomodir pembahasan ini dalam pertemuan selanjutnya karena waktu yang terbatas hari ini,” ujarnya.
Fachri juga menekankan pentingnya pengawasan ketat terhadap program MBG agar tidak terjadi penyalahgunaan anggaran. “Jika tidak diawasi sejak awal, program ini bisa rawan penyimpangan. Apalagi di luar Papua sudah ada kasus keracunan akibat makanan yang tidak layak, yang tentu menjadi kekhawatiran bagi masyarakat di sini,” katanya.
Lebih lanjut, ia menyebut bahwa program MBG belum menjangkau seluruh wilayah Papua Barat. “Di beberapa daerah seperti Pegunungan Arfak (Pegaf), program ini mungkin belum berjalan. Oleh karena itu, perlu dievaluasi apakah program ini benar-benar sesuai untuk Papua Barat. Jika tidak, kita harus mengutamakan pendidikan dan kesehatan gratis, karena itu lebih mendesak,” tegasnya.
Ketua Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI) Cabang Vilanova Manokwari, Yostan Hilopak, turut menambahkan bahwa program MBG tidak selaras dengan kebutuhan utama masyarakat Papua.
“Kami lebih membutuhkan sekolah yang layak dengan tenaga pengajar yang cukup, serta fasilitas kesehatan yang memadai, bukan hanya program makan bergizi,” katanya.
Menurutnya, kebijakan ini tidak mempertimbangkan budaya pangan masyarakat Papua yang secara tradisional telah mengandalkan hasil kebun sendiri. Ia juga menyoroti kurang efektifnya implementasi pendidikan dan kesehatan gratis dalam skema Otonomi Khusus (Otsus) di Papua.
“Pendidikan dan kesehatan gratis yang selama ini dijanjikan dalam Otsus masih belum berjalan secara optimal,” ucapnya.
Dialog ini turut dihadiri oleh perwakilan Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) dari Universitas Papua (Unipa), Sekolah Tinggi Ilmu Hukum (STIH), Universitas Caritas Indonesia, serta perwakilan organisasi Cipayung di Manokwari.