Raja Ampat, Beritakasuari.com – Aksi pemalangan yang sempat menghambat aktivitas tambang nikel di wilayah adat Pulau Batan Me, Distrik Waigeo Barat Kepulauan, Kabupaten Raja Ampat, mendapat penolakan tegas dari pemilik hak ulayat, Marga Ayelo.
Sebagai bentuk protes atas aksi tersebut, perwakilan keluarga turun langsung membuka palang di Kampung Manyaifun, yang sebelumnya dipasang tanpa sepengetahuan atau persetujuan mereka. Aksi pembukaan palang ini dilakukan demi mendukung kelanjutan eksplorasi tambang nikel dan mempertegas posisi hukum serta sosial Marga Ayelo sebagai pemilik sah wilayah adat.
Kristina Ayelo, tokoh adat sekaligus mantan anggota Majelis Rakyat Papua Barat, menegaskan bahwa mayoritas masyarakat Kampung Manyaifun justru berharap agar perusahaan tambang segera beroperasi. Ia menyebut tambang itu akan membuka lapangan kerja dan memberikan dampak ekonomi nyata bagi warga lokal yang selama ini menggantungkan hidup dari Pulau Batan Me.
“Kami mendukung investasi ini demi kesejahteraan masyarakat. Pemalangan ini tidak merepresentasikan suara kami sebagai pemilik hak ulayat. Justru kami ingin aktivitas tambang berjalan demi masa depan anak cucu,” jelas Kristina.
Kristina didampingi para tokoh adat lainnya, seperti Lasarus Ayelo, Demas Ayelo, Uria Dimara, dan Mandali, mempertanyakan motif dari pemalangan yang dilakukan di wilayah Manyaifun, padahal lokasi tambang berada di pulau berbeda. Ia menduga ada kepentingan pihak tertentu yang ingin menghambat masuknya investasi ke daerah tersebut.
Lebih jauh, Kristina menyayangkan munculnya pemalangan kedua setelah yang pertama mereka cabut. Ia menilai tindakan itu menciderai penghormatan terhadap hak ulayat yang sah dan menyatakan pihaknya tidak segan menempuh jalur hukum apabila upaya serupa terus dilakukan.
“Jika masih ada yang tidak menghargai hak kami, maka kami akan proses secara hukum. Hak ulayat bukan untuk dipermainkan,” tegasnya.
Menurut dia, selain mengganggu aktivitas perusahaan, aksi pemalangan juga berdampak pada jalannya pemerintahan kampung serta kehidupan sosial masyarakat. Oleh karena itu, pihak keluarga Ayelo merasa berkepentingan untuk memastikan akses tetap terbuka.
“Pemerintahan kampung juga terkena imbas dari pemalangan ini. Kami berkomitmen untuk menjaga stabilitas, dan langkah membuka akses ini adalah bagian dari tanggung jawab kami sebagai pemilik wilayah adat,” pungkas Kristina.