Manokwari, Beritakasuari.com – Senator DPD RI asal Papua Barat, Filep Wamafma, menegaskan bahwa rencana pengembangan investasi perkebunan kelapa sawit di Tanah Papua tidak boleh dilakukan secara terburu-buru. Ia meminta pemerintah pusat melakukan kajian yang benar-benar komprehensif sebelum mendorong masuknya investasi skala besar, khususnya yang menyentuh ruang hidup masyarakat adat dan kawasan hutan.
Pernyataan tersebut disampaikan Filep sebagai respons atas dorongan Presiden Prabowo Subianto yang menempatkan Papua sebagai salah satu wilayah strategis untuk penguatan sektor ekonomi melalui penanaman kelapa sawit. Menurut Filep, pengalaman di Papua menunjukkan bahwa investasi tanpa perencanaan matang justru berpotensi memicu konflik baru di tengah masyarakat.
Ia mencontohkan sejumlah proyek strategis nasional di Papua, termasuk di Merauke, Papua Selatan, yang hingga kini masih menghadapi penolakan dari sebagian masyarakat adat. Kondisi serupa juga terjadi pada beberapa investasi di sektor pertambangan di wilayah lain Papua, yang meninggalkan jejak persoalan sosial dan lingkungan.
“Hal ini menjadi pelajaran bahwa apa pun yang dilakukan di Tanah Papua perlu pemetaan dan kajian yang benar-benar matang. Bagi masyarakat adat Papua, hutan adalah tempat berlindung sekaligus sumber kehidupan untuk mencari makan dan minum,” ujar Filep di Manokwari.
Filep menjelaskan, akar persoalan sering kali bermula dari perbedaan cara pandang antara pemerintah dan masyarakat adat dalam memaknai pemanfaatan lahan. Pemerintah cenderung melihat kawasan yang belum dikelola sebagai lahan tidur yang dapat dioptimalkan untuk kepentingan ekonomi, sementara masyarakat adat memandang hutan sebagai bagian tak terpisahkan dari identitas, budaya, dan sistem kehidupan mereka.
“Perbedaan pemahaman ini, jika tidak dikelola dengan baik, justru berpotensi menciptakan konflik baru ketika investasi masuk,” katanya.
Selain menyoroti aspek sosial dan lingkungan, Filep juga mengkritisi minimnya nilai tambah dari perkebunan sawit yang telah beroperasi di Papua selama ini. Ia menilai, sebagian besar investasi sawit hanya menjadikan Papua sebagai lokasi produksi bahan mentah, tanpa diikuti pembangunan industri pengolahan yang mampu menyerap tenaga kerja lokal.
“Banyak sawit di Papua hanya menebang hutan, menanam, mengambil buah, lalu mengirimnya keluar sebagai bahan mentah. Masyarakat Papua tidak mendapatkan manfaat signifikan dan tetap menjadi konsumen,” ujarnya.
Sebagai anggota DPD RI, Filep menekankan bahwa jika pemerintah serius mendorong investasi sawit, maka pembangunan pabrik pengolahan harus dilakukan langsung di Papua. Langkah tersebut dinilai penting untuk membuka lapangan kerja bagi orang asli Papua, meningkatkan pendapatan daerah, serta memastikan masyarakat setempat memperoleh manfaat ekonomi yang adil.
Di sisi lain, Filep juga mengingatkan pemerintah agar belajar dari berbagai peristiwa bencana alam yang terjadi di sejumlah wilayah Indonesia. Ia menilai, bencana tersebut seharusnya menjadi peringatan agar kebijakan pembangunan tidak mengabaikan daya dukung lingkungan.
“Perlu ada restorasi dan perubahan konsep pembangunan. Ini harus menjadi referensi dalam menata wilayah lain, termasuk Papua, agar pembangunan tidak merusak alam dan merugikan masyarakat,” tutup Filep.



