Manokwari, Beritakasuari.com – Rektor Universitas Caritas Indonesia (UNCRI) Manokwari, Prof Roberth KR Hammar, mengemukakan refleksi bernada humor getir mengenai kerja para dosen di Papua. Dalam paparannya pada perayaan HUT ke-6 Ikatan Dosen Katolik Indonesia (IKDKI) di kampus Universitas Tarumanagara, Jakarta, Minggu 23 November 2025, ia mengatakan bahwa para dosen di Papua layak menjadi orang pertama yang masuk surga karena harus mengajar dalam kondisi yang sering kali serba terbatas. Candaan itu, ujar Prof Roberth, lahir dari realitas berat dunia pendidikan tinggi di wilayah timur Indonesia.
Ia menjelaskan bahwa jumlah dosen Katolik di Papua masih sangat terbatas, hanya sekitar 40 orang dari lebih dari 50 perguruan tinggi yang tersebar di Papua Barat dan Papua Barat Daya. Kondisi tersebut dianggap sebagai beban besar dalam upaya membangun kualitas sumber daya manusia. Meski begitu, ia tetap optimistis dengan keterlibatan IKDKI dalam mempercepat peningkatan kapasitas akademik, termasuk membuka peluang bagi dosen Papua untuk segera mencapai jenjang tertinggi sebagai guru besar. Saat ini, sekitar 15 dosen dari wilayah tersebut telah berada pada posisi lektor kepala dan dinilai tidak jauh dari pencapaian puncak karier akademik.
Di balik indikator tersebut, Prof Roberth menekankan bahwa kualitas calon mahasiswa di Papua sangat beragam karena perbedaan akses pendidikan dari satu daerah ke daerah lain. Banyak lulusan terbaik melanjutkan studi ke universitas besar seperti UI, UGM, atau Unhas, sedangkan yang lain berkuliah di perguruan tinggi swasta di luar Papua atau kampus kecil di Papua yang masih berjuang meningkatkan mutu. Baginya, Papua sangat membutuhkan laboratorium pendidikan sebagai fondasi agar perguruan tinggi di wilayah tersebut tidak selamanya hanya menjadi penonton dalam perkembangan ilmu pengetahuan.
Selain itu, ia menyoroti pentingnya kehadiran dosen DPK untuk mendukung perguruan tinggi swasta. Ia mengungkapkan adanya upaya komunikasi dengan Kemenpan-RB dan BAKN agar regulasi terkait penempatan dosen dapat dibuat lebih fleksibel dan adaptif terhadap kebutuhan lapangan. Di akhir sesinya, Prof Roberth mengajak seluruh pihak untuk memandang Papua dari kacamata masa depan, menekankan bahwa inti pembangunan pendidikan bukan sekadar mendirikan gedung kampus, tetapi membangun manusia yang percaya diri dan mampu bersaing.



