Jakarta, Beritakasuari.com – Pemberdayaan masyarakat di Papua Barat membutuhkan pendekatan strategis yang menyatukan kekuatan data statistik dengan kearifan lokal. Hal ini ditegaskan Wakil Menteri Sosial, Agus Jabo Priyono, dalam pertemuan bersama perwakilan DPD RI dan tokoh masyarakat adat Papua Barat di Kantor Kementerian Sosial, Selasa (29/4/2025).
Menurut Agus, intervensi sosial di Papua Barat tidak dapat disamakan dengan wilayah lain di Indonesia karena kekhususan struktur sosial dan budaya yang dimiliki masyarakatnya. Ia menekankan bahwa masyarakat adat harus diposisikan sebagai aktor utama pembangunan sosial, bukan sekadar penerima manfaat.
“Pemberdayaan harus dimulai dari penguatan masyarakat adat. Kebijakan tidak bisa sekadar top-down, melainkan harus diselaraskan dengan cara hidup dan nilai-nilai lokal,” ujarnya.
Meskipun data BPS 2025 menunjukkan bahwa Papua Barat berkontribusi paling kecil terhadap angka kemiskinan nasional dibandingkan provinsi seperti Jawa Timur, Jawa Barat, dan Jawa Tengah pendekatan berbasis angka tidak bisa berdiri sendiri. Menurut Agus, data hanya menjadi salah satu pijakan awal, bukan satu-satunya acuan dalam merancang kebijakan sosial.
Dalam diskusi tersebut, tokoh adat dari berbagai wilayah turut memberikan masukan. Charles M Imbir dari Institusi Usba Raja Ampat menyoroti perlunya keseimbangan antara pendekatan nasional dan lokal.
“Kami butuh jembatan antara kebijakan pusat dengan realitas adat yang kami jalani. Tanpa itu, pembangunan tidak akan menyentuh esensi kehidupan masyarakat adat,” ujarnya.
Senada, Semuel Awon dari Dewan Adat Wilayah III Domberay menyampaikan bahwa resistensi terhadap program pembangunan sering muncul bukan karena penolakan terhadap bantuan, tetapi karena metode pelaksanaannya tidak sesuai dengan norma sosial masyarakat Papua.
“Kami tidak menolak bantuan. Tapi cara pendekatan harus hormati sistem sosial kami. Kami punya struktur adat yang harus dihargai,” tegasnya.
Sementara itu, Direktur Pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil dan Kewirausahaan Sosial, I Ketut Supena, menyatakan bahwa keberhasilan program sosial sangat tergantung pada kemampuan integrasi antara kebijakan nasional dan realitas lokal.
“Pemberdayaan yang efektif selalu lahir dari kolaborasi antara negara dan masyarakat. Dan dalam konteks Papua Barat, masyarakat adat adalah mitra utama, bukan sekadar objek,” jelasnya.
Pertemuan ini menjadi langkah penting menuju desain kebijakan sosial yang lebih inklusif dan berbasis dialog, khususnya dalam menangani kemiskinan secara berkelanjutan di Papua Barat.